Selongsong Anak Panah


Sekali lagi saja izinkan aku mengenangmu pada malam-malam sepi, izinkan aku memeluk bahagia itu sendiri. Maafkan aku yang tak bisa selugas mereka perihal melupakan, maafkan aku karena napas ini masih tentangmu yang sempat singgah meski hanya sebentar. Sekali lagi saja, biarkan rinduku mengalir bersama derasnya hujan disitu. Menuntaskan luka pilu pada dadaku dalam senyuman yang membiru. Percayalah ini tak akan lama, cukup sampai air mata ini tuntas dari sana. Sebab aku tau, perihal rindu akan dirimu semua hanya akan berakhir sendu. Percuma, karena kini kau telah bersamanya. Dan di tempat ini, dengan sembab kurenda luka menjadi bait-bait sajak yang akan kubingkai sukacita, sembari menunggu cinta yang lain tiba.

Seperti melepaskanmu, seorang yang jadi harapan terbesarku. Saat ini sekali lagi harus kurelakan impian masa kecil dulu untuk kebahagiaan dia, sahabatku. Seperti kamu yang kuperjuangkan begitu keras hari itu, tapi takdir mengisahkan aku untuk pergi sebelum bahagia terukir oleh waktu. Hari ini juga harus kulepaskan cita-cita terbesarku, sebab takdir tidak membuatkan jalan lain atas pilihan itu.

Ketika kuputuskan untuk selesai dalam berjuang, yang ada dibenakku adalah bahagianya seorang. Sembari meyakinkan dia dengan senyuman, aku menutup hatiku sendiri yang sedang berkobar karena kehilangan.

Mereka mengatakan aku seorang pecundang, karena tidak bisa menggengam hasil besar dari cita-cita yang telah lama terpendam. Mereka bilang, aku begitu payah. Karena menyerah bahkan sebelum pedang disambarkan ketubuhku sampai berdarah. Mereka mengatakan, sebenarnya itu lebih pantas untukku daripada ia (sahabatku). “Sebenarnya apabila kamu mau berjuang sedikit lagi, impian itu bukan lagi jadi anggan tapi sebuah kenyataan indah yang akan selalu terkenang”, kata mereka mengejekku. Semua lagu itu menderu di kepalaku, menjadi kunang-kunang ditengah sepinya malam tanpa Bulan. Bisikan itu sekaligus jadi anak panah yang menghujam dalam di dada. Dan tanpa sempat kurasakan sakitnya, ia telah mengurai darah dan merobek kulit muka tanpa setitik kata.

- Seperti anak panah yang menembus udara, kurelakan impianku untuk sekadar ingin melihatmu bahagia -


Kalian benar, mungkin aku memang payah. Sebab lebih memilih menusuk hati dengan anak panah, daripada berjuang untuk mengambil hadiah. Saat itu aku ingat, sedetik sebelum anak panah melesat, sudah kupejamkan mata dengan merapal impianku yang akan lebur dengan luka lara. Seperti menggengammu saat itu yang hanya akan menyisakan luka, maka melepasmu adalah pilihan yang berat tapi pantas untuk diterima. Ku rasa pilihan ini pun telah tepat, Tuhan telah membuatku pantas untuk menerimanya. Karena aku yakin dengan keputusan ini, Tuhan telah menjagaku dari luka yang mungkin akan kudapatkan ketika semua hal itu dilanjutkan.

Nanti aku akan kembali baik-baik saja, seperti saat aku harus bangun dari mimpi indah bersamamu. Kelak aku akan kembali baik-baik saja, mengapai harapan yang saat ini hanya jadi angan-angan dilangit malam. Maka simpanlah risaumu pada daun-daun yang menderu bersama angin kala itu, kemudian genggamlah aku dengan kepercayaan maka akan kuperjuangkan yang berikutnya dengan kesungguhan.



-Terima Kasih-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Desember

EPISODE #1

KEEP TRYING