Ketika Mendung Memayungi Malam Temaram
![]() |
“Ketika mendung memayungi malam yang temaram, aku berharap seorang akan datang memutus pilu bersama rintik hujan yang terurai setelah itu.” |
Ada
mendung di matamu malam ini, menahan hujan untuk tak basah pada kelopaknya. Ada
kelabu di teras wajahmu sedari tadi, menahan kecewa atas ia yang telah berdusta
pada janjinya. Aku tahu betapa banyak sendu yang sudah begitu lama tertahan
dalam senyummu, dan perlahan menjadikanmu asing sebab rasa sakit itu sudah
singgah terlalu sering.
Ketika
orang-orang di sana bersuka sebab hujan tak singgah pada pekarangan mereka. Aku
hanya tak merasa nyaman, sebab masih membiarkanmu menahan lirih atas perih yang
sebenarnya kini sudah saatnya kau untuk pulih. Ketika orang-orang di sana
memeluk malam dengan menghamburkan tawa riang, serta riuh petasan. Aku hanya
memandang bulan, sembari mengirim pesan untukmu yang masih terjebak kesepian
meskipun akhirnya tertahan di atas keraguanku menyatakan.
Ingin
kukatakan bahwa kesendirian yang membalutmu itu semu, karena aku masih akan
memelukmu bahkan ketika semesta tak menginginkan aku untuk ada.
Lagi-lagi
aku terdiam dan kembali dalam kesadaran. Ya, kesadaran bahwa aku tak akan pernah
mampu mengetuk hati yang begitu kudamba, bahkan telah berkali-kali ku sketsa
rupanya dalam setiap lirik doa. Namun, harus kuterima bahwa memang beginilah aku dan kamu dalam perjalanan takdirNya. Semesta berpihak padamu, untuk tak
mengizinkanku menyentuh bayangan itu. Hingga akhirnya pada suatu waktu dengan
bodohnya aku masih saja mengharapkanmu berpindah arah, menemuiku yang tergenang
keluh kesah.
Apabila,
malam ini banyak orang ingin melihat bulan bersemi. Harapku hujan turun tanpa
malu untuk membasahi bumi. Sebiru air laut pagi itu sampai semuram
langit-langit yang sudah tak kuasa menahan jerit.
Entah
akan seperti apa semesta merancang perjalanan kita, aku hanya ingin di sini
semalaman. Mengingatmu untuk diriku seorang. Menyentuh wajahmu dengan kata dan
ingin ku urai seluruh air mata. Aku hanya ingin di sini hadir sejelas purnama
dan sependar bintang jatuh di ufuknya. Juga merindukanmu segersang kemarau dan
selembab hujan di setiap tahunnya. Sebab sekeras apapun aku menjelajah langitmu,
hujan akan tetap jatuh padanya yang telah terlebih dulu mencuri aurora di
kutubnya. Karenanya kupilih senyap kesungguhan saat menunggumu di ujung jalan dengan berpayung
harap, menanti semesta membukakan jalan untuk dapat kudekap.
Maaf
aku terlambat datang saat itu, saat di mana kau membutuhkan seseorang untuk
mendengarkan sesak yang telah begitu lama tertahan.
Sekarang
kita berjarak, semesta membuat kita terjebak pada tempat masing-masing dan tak
mengizinkan kita untuk beranjak. Angin membiru membiarkan udara di sekitar kita
membeku, ini kembali menyadarkanku bahwa tak jua dapat kugapai senyum itu
bahkan pada mimpi milikiku sendiri.
Dalam
benar dan salah ingin kusatukan detak untuk bisa seirama embusan napas yang tak
terisak. Sampai seisi dunia cemburu, melihat patahnya aku untuk seorang yang
bahkan tak pernah tahu siapa itu. Seperti senja yang kemerahan, aku tak pernah
takut untuk selalu dipatahkan. Semuram malam yang berpendar kemudian, aku tak
akan lelah untuk menantimu mengurai luka dalam kepedihan.
Beranjaklah
dari dinginnya sunyi yang memelukmu, sebab kau seorang yang bisa mendapatkan
kembali kehangatan untuk melemahkan lelah di kedua lutut itu. Pada
langkah-langkah di depan nanti, semesta tak akan membiarkanmu berteman sepi. Ada
dia, dia dan mungkin saja aku yang diizinkan untuk menemuimu memberikan sesajak
rindu yang telah lama kutuliskan di bawah hujan hari itu.
2019
- salam
Komentar
Posting Komentar