Ketika Mendung Memayungi Malam Temaram

“Ketika mendung memayungi malam yang temaram, aku berharap seorang akan datang memutus pilu bersama rintik hujan yang terurai setelah itu.”



Ada mendung di matamu malam ini, menahan hujan untuk tak basah pada kelopaknya. Ada kelabu di teras wajahmu sedari tadi, menahan kecewa atas ia yang telah berdusta pada janjinya. Aku tahu betapa banyak sendu yang sudah begitu lama tertahan dalam senyummu, dan perlahan menjadikanmu asing sebab rasa sakit itu sudah singgah terlalu sering.

Ketika orang-orang di sana bersuka sebab hujan tak singgah pada pekarangan mereka. Aku hanya tak merasa nyaman, sebab masih membiarkanmu menahan lirih atas perih yang sebenarnya kini sudah saatnya kau untuk pulih. Ketika orang-orang di sana memeluk malam dengan menghamburkan tawa riang, serta riuh petasan. Aku hanya memandang bulan, sembari mengirim pesan untukmu yang masih terjebak kesepian meskipun akhirnya tertahan di atas keraguanku menyatakan.

Ingin kukatakan bahwa kesendirian yang membalutmu itu semu, karena aku masih akan memelukmu bahkan ketika semesta tak menginginkan aku untuk ada.

Lagi-lagi aku terdiam dan kembali dalam kesadaran. Ya, kesadaran bahwa aku tak akan pernah mampu mengetuk hati yang begitu kudamba, bahkan telah berkali-kali ku sketsa rupanya dalam setiap lirik doa. Namun, harus kuterima bahwa memang beginilah aku dan kamu dalam perjalanan takdirNya. Semesta berpihak padamu, untuk tak mengizinkanku menyentuh bayangan itu. Hingga akhirnya pada suatu waktu dengan bodohnya aku masih saja mengharapkanmu berpindah arah, menemuiku yang tergenang keluh kesah.

Apabila, malam ini banyak orang ingin melihat bulan bersemi. Harapku hujan turun tanpa malu untuk membasahi bumi. Sebiru air laut pagi itu sampai semuram langit-langit yang sudah tak kuasa menahan jerit.

Entah akan seperti apa semesta merancang perjalanan kita, aku hanya ingin di sini semalaman. Mengingatmu untuk diriku seorang. Menyentuh wajahmu dengan kata dan ingin ku urai seluruh air mata. Aku hanya ingin di sini hadir sejelas purnama dan sependar bintang jatuh di ufuknya. Juga merindukanmu segersang kemarau dan selembab hujan di setiap tahunnya. Sebab sekeras apapun aku menjelajah langitmu, hujan akan tetap jatuh padanya yang telah terlebih dulu mencuri aurora di kutubnya. Karenanya kupilih senyap kesungguhan saat  menunggumu di ujung jalan dengan berpayung harap, menanti semesta membukakan jalan untuk dapat kudekap.

Maaf aku terlambat datang saat itu, saat di mana kau membutuhkan seseorang untuk mendengarkan sesak yang telah begitu lama tertahan.

Sekarang kita berjarak, semesta membuat kita terjebak pada tempat masing-masing dan tak mengizinkan kita untuk beranjak. Angin membiru membiarkan udara di sekitar kita membeku, ini kembali menyadarkanku bahwa tak jua dapat kugapai senyum itu bahkan pada mimpi milikiku sendiri.

Dalam benar dan salah ingin kusatukan detak untuk bisa seirama embusan napas yang tak terisak. Sampai seisi dunia cemburu, melihat patahnya aku untuk seorang yang bahkan tak pernah tahu siapa itu. Seperti senja yang kemerahan, aku tak pernah takut untuk selalu dipatahkan. Semuram malam yang berpendar kemudian, aku tak akan lelah untuk menantimu mengurai luka dalam kepedihan.

Beranjaklah dari dinginnya sunyi yang memelukmu, sebab kau seorang yang bisa mendapatkan kembali kehangatan untuk melemahkan lelah di kedua lutut itu. Pada langkah-langkah di depan nanti, semesta tak akan membiarkanmu berteman sepi. Ada dia, dia dan mungkin saja aku yang diizinkan untuk menemuimu memberikan sesajak rindu yang telah lama kutuliskan di bawah hujan hari itu.




2019 - salam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Desember

EPISODE #1

KEEP TRYING