Berpendar Kemudian Hilang


- Ada tangis yang tak tertahan, di bawah pendar lampu persimpangan jalan -


Di ujung jalan, lampu berpendar menerbangkan kemerahan senja yang perlahan tertuang gelap gulita. Detik berbaur pada berisik angin yang meniup hela-hela daun kering. Aku tercampur rindu dan cemas dalam waktu yang tertahan dan semakin mengeras, sembari menguatkan pegangan tali yang sedari tadi mencoba terlepas.

Malam bertambah senyap dan hitamnya semakin pekat, menutup jalan pulang hingga bersisa remang di persimpangan. Sejak saat itu, kebingungan meliputiku tak ubahnya pendar lampu. Menanam keraguan dan menghujam bimbang sepenuh genggaman.

Bersimbah air mata, harapanku perlahan rebah pada garis bujur di sana. Melukis arah dan memperjelas batas tentang kita yang hanya indah dalam cerita.

Sejenak biarkan aku melukai malam temaram yang berbalut rasi bintang dan sayup-sayup rembulan. Biarkan aku sebebas kawanan kunang dan meratap dengan sajak-sajak penuh kesedihan, hingga lenyap tertelan ribuan mimpi yang tertahan di bumi.

Ini hanya tentang sepenggal kisah yang masih terus berjalan keluar dari titik muram, dengan uraian kata yang coba membuka mata untuk dapat menyembuhkan lebam dan nanar di muka. Ketika monolog sudah tak lagi menghilangkan penat, maka ingin kubuka dialog supaya kita rekat dan tak direnggangkan oleh sekat. 

Denyut kita berbatas, tapi ironisnya masih saja ego memutus kasih dan menyisakan bekas pembuat perih. Satu demi satu langkah terasa berat dan menjauh dari tengah, atau mungkin terlihat begitu pasrah sebab menyoal berbagai keluh kesah yang semakin melukai wajah.


Hai malam, apa kabar? Masihkah kau jadi tempat ternyaman untuk ku bersandar?. Mungkin sampai tengah malam, inginku rebah di bahu bintang sembari berbicara pada bulan sendirian. Banyak sekali sesak yang tak terkatakan, banyak resah yang tak tersampaikan dan beragam rasa yang tak mampu terungkapkan. 

Sudah sekian lama aku menghilang, mencoba menutup diri dan memulai perjalanan melupakan. Sudah sekian lama aku sengaja tak peduli, mencoba seolah-olah tak pernah tahu dan kemudian pergi. Hingga suatu waktu, ada rindu yang muncul dari seorang itu. Seakan-akan mengetuk pintu dan mencariku.  

Pada remangnya pijar lampu ruang disitu, aku menatap lamat-lamat hanya terlihat bayangan pekat, mulai mendekat dan menyetuh nadi yang mendetak hangat.

Katanya, telah lama ia menantikan kabar. Katanya, telah lama pula ia mencari dan menahan. Tapi tak jua datang hingga akhirnya ia memilih tenang, menunggu dengan sepenuh rindu pada rinai hujan malam itu. Sampai sekarang, aku terus berpaling wajah dan berjalan bersimpang arah. Menuruti diri sendiri yang ingin selalu berdiam dalam ruang tak berpenghuni, meratapi luka dan perlahan mati direnggut ketakutan  dan amarah dari hati. 

Kataku, biarkan semua tentang waktu ini berdebu hingga yang pernah ada di masa lalu akan terlupakan dan berganti pada sisi itu. Kataku, biarkan saja rindu menggebu sebab kelak ia pun akan pilu karena hanya menggantung dipeganggan pintu dan tak pernah sampai diujung temu.

Ini bukan perihal aku, kamu ataupun kita. Ini hanya tentang bagaimana bertahan di reruntuhan senja, supaya tak tenggelam pada malam dengan seluruh sesaknya. Sebab, sekuat apapun engkau hari itu tetap ada sakit yang menggalung dan siap merisak tenang dalam denyut jantung. Kemudian, perjuanganmu dimulai dari sana. Akankah kamu berakhir dengan berdiri teguh, atau luluh dan rapuh.

Aku ataupun kamu hanya bisa bersajak sendu, sembari menyertakan doa di sela waktu supaya dapat selalu dikuatkan dari lara dan dipertemukan kembali sebelum senja tenggelam di teluk sana.




2019 - salam

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Desember

EPISODE #1

KEEP TRYING