Sehelai Harapan Untuk Membuatmu Bertahan
![]() |
- Kadang kau hanya perlu sehelai bulu, untuk menuliskan kisah sedalam itu - |
Harapan
hadir bagai sehelai daun yang gugur terbawa angin, memasrahkan diri perihal
kemana ia akan dibawa pergi. Pohon yang bagiannya dilepas paksa, terus saja
meneliti langit sembari meraba angin dan berdoa. Menantikan kabar dedaunan yang
telah tinggal jauh menetap pada rahim ibu baru di lain tempat.
Kehilangan
tak hentinya membuat air mata terkuras, tiap malamnya sesak berhadapan dengan
hening dan membawa kembali waktu yang berupa sendu. Hanya untuk menertawakan
kehilangan, juga meratapi masa silam yang tak pernah dijadikan tujuan untuk
dibahagiakan.
Semua
perubahan ini terlampau cepat untuk diterima manusia bumi. Kemarin, masih
kugenggam tangan itu dengan gemetar, sembari menyelipkan canda pada kantung
bajunya yang kusam dan lapang. Hari ini, kugenggam angin dengan terisak,
sembari melepasnya dari nadi hingga mengembalikan sunyi pada hari-hari.
Bagai
genderang yang ditabuh kesunyian, masa itu akan tetap keemasan meskipun
sekarang singasana ini lenggang sebab tak lagi bertuan. Kemudian malam datang
lagi, membawa secangkir kopi yang mesti kuteguk sendiri sembari merangkulmu
dalam mimpi. Itu membekas air mata, kemudian menghadirkan musim dingin
setelahnya.
Sepanjang
garis hingga selengkung sudut yang kutulis memang seluruhnya hanya perihal
luka. Kata demi kata perlahan merajut lara, menyisakan nyeri tapi setidaknya
tidak membuat semesta mempertanyakan tentang dirinya sendiri. Bersama rasa
sakit, ada begitu banyak harapan yang sengaja dilukis. Untuk menjadi pengingat,
hanya untuk membuatnya ingat, bahwa pahit juga memiliki tenggat. Kemudian dia
akan melihat, bagaimana manis lebur dalam tangis yang begitu miris.
Pada
permulaan hari, akan selalu ada yang berganti. Dari gelisah yang memerah sampai
pada pilu yang begitu biru, akan segera berselang gembiranya jingga sampai pada
tawa riuhnya merah muda.
Ini
hanya perihal waktu. Ini hanya perihal detak jantungnya, yang tak terlihat
namun begitu nyata rasanya.
Pada
kemurungan, aku mengiris tawa demi lirihnya amarah dihati tetua. Kutelan
mentahan cita, untuk jadi sajian pemanis di meja mereka. Perlahan, deret waktu
menyeretku pada kekosongan. Begitu lapang, namun penuh ketiadaan. Semakin lama,
garam pun terasa hambar. Semua yang tersaji adalah hamparan eloknya wajah bumi,
tapi pada mataku itu tak ubahnya gambaran kengerian diri.
Seperti
langit yang kehilangan bintangnya, aku kehilangan aku yang seutuhnya. Berikut
hanya raga, entah di mana jiwa itu sekarang berada. Mungkin demikian nasib
sehelai daun, kehilangan rumah dan tak lagi punya arah.
Setelah
mengering dan payah, dedaunan dimaki, dirutuki. Perlumu hanya jadi dirimu
sendiri, yakni sehelai daun yang tumbuh kemudian pergi untuk menanamkan arti. Bukan
jatuh di bawah, lalu hilang tanpa menyisakan riang. Begitulah kata seorang
tamu, dia berkunjung untuk menampilkan keadaan diri, melubangi iri dan berakhir
dengan benci lantas ia pergi.
Tak
apa jika hari ini kegembiraanmu jatuh, senyummu patah dan air matamu bertambah
keruh. Sesaat merasakan sesak hingga denyut tak beraturan mungkin akan
diperlukan, supaya tak menjadikanmu lupa bahwa sejatinya engkau masih manusia.
Berdirilah,
seimbangkan dirimu lagi. Ambil sisa puing yang masih tertinggal, rekatkan lagi
hingga kembali jadi seutuhnya kamu. Memang sudah tak sama, setidaknya rasamu
yang dulu masih ada.
2019
- salam
Komentar
Posting Komentar