Menatap, Untuk Membaca Kisah
![]() |
Mungkin, kau tak pernah berbicara tentang kisahmu. Namun, kau selalu menggambarnya pada kedua matamu. |
Saat senja surut, malam mulai mengumumkan kehilangan. Kata kata getir menghiasi lini masa, dan dinding dinding usang di sisi kota. Malam seolah tenang untuk sebagian orang, tetapi begitu riuh dan menyesakkan untuk kami yang sedang kehilangan.
Dengan sembunyi sembunyi, kami menuliskan, kami merasakan, sampai kami seakan menghilang. Sorak sorai tangis mewarnai langit, begitu kusam dan membuat hati ini semakin sakit. Setelahnya dingin menyesap rongga tubuh, dan gigil menjamah sekujur sukma yang entah sudah tak lagi utuh.
"Kembalilah, kembalilah, kembali
kau"
Tak ada apa apa di depan sana, malam
terlampau gelap untuk mata melihatnya. Terlampau dingin untuk badan menerimanya. Terlampau sepi untuk
merayakan kenang atas ia yang tiba tiba saja pergi. Lihatlah, kami sudah
kehabisan waktu untuk kembali. Senyap di sini tak ubahnya pereda nyeri untuk
sisi tubuh kami yang belakangan tak berasa lagi.
"Kembalilah, kembalilah, kembali kau."
Suara suara mengema tak ubahnya renjana.
Namun, bagai sebilah duri yang menusuk kerongkongan, kami
membisu seolah kedap oleh bising senyap napas itu. Sekarang, bagian mana dari
sisi bumi yang sudi menerima kami. Kami, sisa diri yang penuh lebam oleh mimpi
sebab kenyataan terlalu jauh untuk didekati. Kami, yang berputar putar pada
garis kerut usia tanpa menghasilkan apa apa.
Lantas, dengan abjad abjad yang berantakan
pada kisah kami, masih adakah barang seorang saja yang menginjak bumi untuk
menerima kami?. Tanpa syarat dan tanpa merasa sarat?.
Mungkin jika bukan malam ini,
maka esok hari. Begitu seterusnya hingga retakan pada lengan kami tertutup
daging seutuhnya. Setelah mencari, mungkin ada saatnya kami hanya duduk dan
melihat sesekali. Sebab butuh banyak tenaga untuk kami yang hanya seorang diri.
Dalam tunggu, kami terpejam. Mengisahkan
masa lalu ke masa depan, lewat tayangan kami berperan, kami menjadi kami untuk
berbahagia sebagai satu diri. Lelap adalah tempat labuh untuk diri yang begitu
rapuh. Menjelajah sunyi di luar, membuat kami susut dan semakin keruh. Perlahan, kami seperti ditinggalkan seraya tenggelam di
punggung malam.
Tampaknya, kami akan tinggal
lebih lama, pada jantung semesta. Merasakan detaknya supaya sekan akan kami
memiliki kami yang begitu hangat di sini.
Setelah tikungan panjang, napas kami
tersengal-sengal. Dari pantul air, wajah kami memucat. Bunga bunga di bukit itu
tampak samar dan berputar putar. Ada apa? Apakah dunia kami akan runtuh? Akankah
kami dapat kembali dengan utuh?
“Sebentar, jangan
berhenti dan jatuh”, katanya. “Setelah
tikungan ini masih ada tanjakan dan turunan sebelum sampai di pemberhentian.
Begitu melelahkan, kenapa masih begitu panjang? Sebab masih ada begitu banyak
hal yang harus kau lihat, masih banyak yang perlu kau tau. Mengapa begitu?
Supaya saat kau temukan keseluruhan kamu, tak akan ada lagi sesak yang sanggup
memisahkan kamu dari kamu.”
Mendengarnya, sela sela jemari kami terasa dipenuhi
tenaga lagi. Pun langit yang begitu hitam, mulai bermunculan bintang yang berderet
menunjukkan arah pulang. Apabila sakit membuat kami bersimpuh, semesta hadir
sebagai tempat kami berteduh. Kemudian,
kami saling menatap dan menerima masing masing ratap.
2019
Salam,
Komentar
Posting Komentar