Menatap, Untuk Membaca Kisah



Mungkin, kau tak pernah berbicara tentang kisahmu. Namun, kau selalu menggambarnya pada kedua matamu.

Saat senja surut, malam mulai mengumumkan kehilangan. Kata kata getir menghiasi lini masa, dan dinding dinding usang di sisi kota. Malam seolah tenang untuk sebagian orang, tetapi begitu riuh dan menyesakkan untuk kami yang sedang kehilangan. 

Dengan sembunyi sembunyi, kami menuliskan, kami merasakan, sampai kami seakan menghilang. Sorak sorai tangis mewarnai langit, begitu kusam dan membuat hati ini semakin sakit. Setelahnya dingin menyesap rongga tubuh, dan gigil menjamah sekujur sukma yang entah sudah tak lagi utuh.

"Kembalilah, kembalilah, kembali kau"

Tak ada apa apa di depan sana, malam terlampau gelap untuk mata melihatnya. Terlampau dingin untuk badan menerimanya. Terlampau sepi untuk merayakan kenang atas ia yang tiba tiba saja pergi. Lihatlah, kami sudah kehabisan waktu untuk kembali. Senyap di sini tak ubahnya pereda nyeri untuk sisi tubuh kami yang belakangan tak berasa lagi.

"Kembalilah, kembalilah, kembali kau."

Suara suara mengema tak ubahnya renjana. Namun, bagai sebilah duri yang menusuk kerongkongan, kami membisu seolah kedap oleh bising senyap napas itu. Sekarang, bagian mana dari sisi bumi yang sudi menerima kami. Kami, sisa diri yang penuh lebam oleh mimpi sebab kenyataan terlalu jauh untuk didekati. Kami, yang berputar putar pada garis kerut usia tanpa menghasilkan apa apa.  

Lantas, dengan abjad abjad yang berantakan pada kisah kami, masih adakah barang seorang saja yang menginjak bumi untuk menerima kami?. Tanpa syarat dan tanpa merasa sarat?.

Mungkin jika bukan malam ini, maka esok hari. Begitu seterusnya hingga retakan pada lengan kami tertutup daging seutuhnya. Setelah mencari, mungkin ada saatnya kami hanya duduk dan melihat sesekali. Sebab butuh banyak tenaga untuk kami yang hanya seorang diri.

Dalam tunggu, kami terpejam. Mengisahkan masa lalu ke masa depan, lewat tayangan kami berperan, kami menjadi kami untuk berbahagia sebagai satu diri. Lelap adalah tempat labuh untuk diri yang begitu rapuh. Menjelajah sunyi di luar, membuat kami susut dan semakin keruh. Perlahan, kami seperti ditinggalkan seraya tenggelam di punggung malam. 

Tampaknya, kami akan tinggal lebih lama, pada jantung semesta. Merasakan detaknya supaya sekan akan kami memiliki kami yang begitu hangat di sini.

Setelah tikungan panjang, napas kami tersengal-sengal. Dari pantul air, wajah kami memucat. Bunga bunga di bukit itu tampak samar dan berputar putar. Ada apa? Apakah dunia kami akan runtuh? Akankah kami dapat kembali dengan utuh?

Sebentar, jangan berhenti dan jatuh”, katanya. Setelah tikungan ini masih ada tanjakan dan turunan sebelum sampai di pemberhentian. Begitu melelahkan, kenapa masih begitu panjang? Sebab masih ada begitu banyak hal yang harus kau lihat, masih banyak yang perlu kau tau. Mengapa begitu? Supaya saat kau temukan keseluruhan kamu, tak akan ada lagi sesak yang sanggup memisahkan kamu dari kamu.

Mendengarnya, sela sela jemari kami terasa dipenuhi tenaga lagi. Pun langit yang begitu hitam, mulai bermunculan bintang yang berderet menunjukkan arah pulang. Apabila sakit membuat kami bersimpuh, semesta hadir sebagai tempat kami berteduh. Kemudian, kami saling menatap dan menerima masing masing ratap.



  
2019
Salam,

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Desember

EPISODE #1

KEEP TRYING