Di balik pintu, ada dunia yang tak
terbatas. Namun, sebagai manusia engkau perlu memahami batas. Bukan untuk
mengurung diri, tapi untuk menghargai betapa kerasnya kamu sudah berjuang untuk
sampai pada hari ini.
Ruang
dalam semu, waktu dengan segala hal yang abu abu. Di balik pintu, ada sebuah
harapan mengalung pada embus angin yang menelirik. Mengalun lemah, seirama
detak jantung yang terasa kala kau rebah di bahuku. Sebuah harapan menetes
bagai embun pagi, jatuh seirama hujan di sore hari, selembut air matamu yang
basah di lenganku malam ini. Penuh gelisah, aku mati kata. Kala kusaksikan
sendiri engkau jatuh tak berdaya. Diam, berselubung resah. Aku sangsi untuk
menanyakan bagaimana rasamu saat ini.
Satu
per satu. Aku menunggu isakmu henti, aku menunggu air matamu surut dan sembab
itu pergi. Meski akan kuhabiskan malam ini dengan derita, sebab menahan tanya. mengapa, siapa?. Tapi, aku sudah
telanjur di sini. Maka kan kusediakan malam untukmu saja hari ini.
Satu
per satu. Bersama kedua lenganku yang masih erat membalut tubuhmu, kupandangi
kelip pada beberapa bintang di langit. Bersama kesepian dan kekosongan yang
tiba-tiba saja mengambilmu dariku, terlukis haru oleh kunang yang temaram di
sela-sela batu.
Mana
malam yang kita nantikan, mana rembulan yang harusnya jadi saksi atas
perjalanan. Samar-samar aku hanyut dalam kenang, pikirku berkecamuk tenang. Dada
bergemuruh, darah mendidih keruh. Mungkinkah
ini sebabku?. Rumpun-rumpun ilalang berhenti dan tertegun, melihatku yang
memerah di kala kamu masih lelap dalam lamun.
Seperti
bunyi-bunyi an malam yang berisik, kurisak diriku sendiri pada detik pun detik
setelahnya. Jiwaku berlari keluar batas, menyamar pada keluasan malam. Sedang,
tubuhku capai, terpaku di seberang gulita yang mencumbu samudera.
Mengetahui
diriku terbagi, kueratkan dekapku dengan mengusap punggungmu. Ku telusuri
hangat yang merayu sunyi, ku susuri harum
yang menjelma rimbun. Mungkin, malam ikut tersipu mendengar denyutku yang tak
tau malu. Tak xuma itu, ia membawa ranum pada pipiku yang beku beberapa waktu.
Satu
per satu. Semuanya mengembalikanku utuh, pada sadar yang memang tak seharusnya
luruh. Seperti kepalaku yang sempit, dan perlahan menyusutkan kita. Pun egoku yang
pelik, bisa membuat dunia kita sama sama terbalik.
Satu
per satu. Semua puisiku akan tinggal seraya malam yang sebentar lagi hilang. Bersama
hidup yang memang sudah seharusnya berlanjut, akan kucatat lagi hari-hari
ketika engkau mencuri senja dari langitku. Akan kubingkai kembali, daun-daun
yang gugur saat semestamu runtuh. Serta berbagai hal yang tertanam semoga lekas
tumbuh.
Kamu,
lekaslah membaik. Bumi sudah tak tahan dengan terik, ia menantikanmu merapal
lirik-lirik dengan senyum yang membuat rembulan tak laik. Orang-orang kesepian,
sebab kamu yang biasa menanyakan kabar tiba-tiba lenyap tanpa keterangan. Mungkin
tidak pada semua orang, tapi padaku itu sungguhan.
Malam
ini, air mata banyak bercerita tentangmu yang tak tenggelam di tengah badai. Tentangmu
yang masih berdiri, kala air menghanyutkan mimpi. Engkau yang tak kehilangan
api, meski tungku membeku dan bara kehilangan nyawanya satu demi satu. Sungguh
terima kasih untuk itu.
Malam
ini, sunyi juga bercerita banyak tentangku yang melawan diri sendiri. Tentangku
yang tak pernah lepas dari cemas dan memilih untuk tidak bebas. Aku yang
kehilangan waktu dan berputar-putar di senggal napas itu. Aku yang tak menuju
muara, tapi mengendap di persimpangan air rawa. Aku yang memasrahkan diri pada
semesta, sembari menguatkan kaki untuk berdiri dan membahagiakan diri sendiri.
Dan aku yang akhirnya jatuh padamu.
|
Komentar
Posting Komentar