Melihat Iblis Tertawa

 

gambar: @marc_klaus_


Bagaimana jika ketika kau bangun nanti, usia yang kau sambut dini hari tadi membuat leluconmu tak lagi terdengar lucu?

Kamu akan menemui momen yang penuh pertanyaan. Penuh pemikiran-pemikiran buruk yang menjemukkan. Kamu akan menemukan dirimu sendiri berlutut di sisi ruang, atau sedang berbaring dengan terpejam. Perasaan terasing, perasaan takut, sendirian dalam ruang luas yang keremangan.

Rasa takut itu akan menghilangkan kewarasanmu, daya pikir pun ikut melemah. "logis"? Tidak. Kamu tidak akan menemui hal-hal masuk akal di sana. alih alih memikirkan sesuatu, karena terlalu penuh, kepalamu justru terasa kosong tak berasa lagi. Bagian dada juga nampak berlubang seperti tertembus benda tajam, sebab sakitnya tidak lagi menjadikannya sakit.

Kamu juga akan menemui tulang-tulangmu menggeras, tak ada dinding yang tak tunduk. Tak ada dinding yang tak tergores olehnya. Akan kau jumpai kulitmu serentan kaca, dengan beberapa bagiannya yang sobek dan membekas di sana.

Satu demi satu, pertanyaan akan membasahi tubuhmu. Harapan dan cita-cita mengetuk di balik pintu, wajah-wajah laik untuk berbahagia memenuhi lengangnya rongga kepala. Demi keluarga. Demi ayah. Ibu. Saudara-saudara. Namun, iblis yang luang turun dari langit sambil tertawa. Dengan manis ia mengusap air matamu. 

“Kau mati saja, bukankah itu cukup untuk mengangkat separuh beban? Bukankah itu cukup untuk mengurangi nasi dan uang jajan?.”

“Lihat dirimu! Wahai manusia gagal.”

Termasuk hujan dengan aroma keputusasaan. Kepalamu akan menjadi semakin ribut. Menimbang- menimbang ragu yang mulai datang. Kadang, pemikiran iblis memang lebih realistis. Kadang memang perlu menyisakan sedikit luka pada seseorang untuk membuka kebahagiaan atas banyak orang. Kadang tidak bisa melakukan apa-apa dan  “aku” yang bukan siapa-siapa terasa seperti sebuah kutukan.

“Tidak Mungkin. Aku orang kuat”, katamu. 

Benar, memang benar untukmu. Tapi mungkin tidak untuk beberapa lainnya. Di mana rasa sakit membawanya ingin menemukan langit dan membuatnya menangis pada penghabisan musim, sepanjang siang sesingkat malam.

“Tidak. Aku tidak akan kalah”, katamu. 

Benar, memang benar untukmu. Napas panjang dan segelas air akan mendinginkan takutmu. Tapi mungkin tidak untuk beberapa lainnya. Di mana takut menahannya di tempat tidur tanpa tidur, serta menghapus bising menjadi tanpa suara.

Melewati malam-malam yang seperti ini, dia hanya butuh satu hari. Tapi mungkin tidak untukmu, yang harus melewatkan dua hari, tiga minggu, atau bahkan empat bulan tanpa jeda.

Jika kau sudah sampai di sini, maka kau telah berhasil meninggalkan beberapa rasa sakit pada secangkir teh yang kau minum, menyimpannya di buku harian, menyuarakannya hingga lupa atau apapun itu yang kini masih membuatmu ada.

Iblis mungkin menyusun rapi bait-bait katanya untuk membuatmu menyerah. Tapi pilihanmu yang mau tetap menikmati memar hingga reda adalah tepat.

Pura-pura mungkin tidak akan menjadikan semua hal membaik, tapi pura-pura bisa membuat diri ini sedikit lupa rasa sakit. Untukmu yang masih menginjak bumi, berjalanlah dengan seluruh dirimu sendiri.  




Salam, 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Desember

EPISODE #1

KEEP TRYING