Dua Tiga Puluh
![]() |
gambar: @iamwinter |
Dua tiga puluh pagi. Langit telah menghapus air matanya
berkali-kali. Hujan jatuh dengan lembut, sebab tak ingin membangunkan
orang-orang dalam tidur mereka. Dini hari memang tempat terbaik untuk pasrah,
dan berserah. Perihal diri yang tidak utuh, perihal sedih yang menyakiti kedua
lengan maupun perasaan kuat untuk segera menghilang.
Dua tiga puluh pagi, ini juga perihal beberapa hal yang
terlihat kuat tetapi bisa runtuh dalam semalam.
Bagaimana jika waktu berhenti saja di sini? Menghadapi pagi
kadang seperti menghadapi akhir dunia. Membayangkan bertemu orang lain kadang
terasa seperti terkena serangan jantung mendadak.
Takut. Ini adalah perasaan yang melelahkan. Lantas tiba-tiba
kita bisa berputar-putar untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan yang akan
terjadi karena perasaan itu. Alhasil seringkali yang didapat adalah putus asa.
Dua tiga puluh pagi, mungkin juga jadi kesempatan yang baik
untuk menghina diri sendiri. Ah cuma gitu
aja nyerah. Yahh ini sepele lo masak takut. Udah dewasa harus pemberani. Jangan
malu-maluin orang tua. Kadang karena terlalu banyak kata untuk menghina, di
lain waktu diam dan menangis adalah gantinya.
Kita sebagai manusia yang diberi kesempatan menikmati bumi,
akan merasakan banyak hal tak terduga. Menemui jalan yang berbeda atau bahkan
meskipun berada di pilihan yang sama, tetapi setiap orang akan menjadi
sebagaimana dirinya sendiri. Begitupun dengan perasaan takut. Mungkin dapat
terlihat remeh dipandangan beberapa orang. Kadang ini juga jadi tembok besar
yang menghalangi jalan keluar.
Dengan kesempatan menikmati bumi, Tuhan menitipkan
kerentanan pada masing-masing manusia. Beberapa rentan terhadap gula, beberapa
tak sanggup berdiri di bawah hujan lama-lama, juga beberapa yang lain tak
sekuat itu menghadapi takut. Kamu juga bisa menemukan banyak hal-hal rentan
lain yang menjangkiti manusia. Maka apakah sebuah kesalahan untuk merasa takut?
Apakah sebuah kegagalan karena tidak bisa melakukan beberapa hal?
Tidak. Akan tetapi manusia seringkali hanya melihat seadanya,
kemudian memilih melakukan hal yang tak semestinya. Termasuk menentukan nilai
orang-orang disekitarnya.
Pukul tiga pagi. Tak jarang semakin dekat dengan subuh semakin tinggi pula tekanan darah. Kepala berdenyut, jantung berdebar dan air mata tak berhenti mengalir. Aku menyeret tubuh ke kasur, setelah sejam berjongkok di belakang pintu. Bahkan tempat yang sangat aku kenal terasa begitu asing dan menakutkan.
Bercak darah di mana-mana, bekas pukul di sudut-sudut masih terlihat lebam, sampai beberapa sisinya yang masih basah karena air mata setiap petang. Tak jarang kamu hanya bisa menemukan kekosongan di sini, dengan dada yang sesak dan kepala yang ingin meledak.
Kehidupan macam apa ini? tak ada apa-apa di sini. Bahkan menulis ini pun sepertinya tidak akan menyelamatkan siapapun termasuk dirimu sendiri yang sudah berada diujung.
Mau menyerah? Atau mundur
beberapa langkah untuk kembali ke arah semestinya? Bertanyalah pada dirimu, pertimbangkan. Kamu tau
yang terbaik untukmu. Bumi masih akan jadi tempat yang asik. Khususnya momen
dini hari yang mungkin tak bisa kamu temukan di planet lain.
Komentar
Posting Komentar