Syukurlah, Tuhan Menyelamatkanku Melalui Kamu

 

gambar: @analoguepotrait

“Kamu wajib menghubungiku saat sedang sedih atau tak berdaya, aku akan membantu semaksimalnya. Tapi kau tidak wajib menghubungiku saat sedang bahagia, aku tidak peduli yang penting adalah kebahagiaanmu saja”, Ia tersenyum hangat dan memegang tanganku erat. Entahlah tapi saat ini rasanya waktu sedang berhenti, saat ini aku juga tak lagi peduli. Kehadirannya di sini cukup. Aku tak membutuhkan dunia lagi, sebab dia telah jadi duniaku. “Jangan munafik kamu, dasar payah”, kataku sambil sesegukan. Mendengar itu dia hanya diam, menatapku yang sedari tadi tak menghadap ke wajahnya. Aku hanya terus memandangi bumi yang kuinjak. Dua puluh delapan...dua puluh sembilan...tiga puluh. “Aku memang manusia munafik le. Siapa yang tak ingin diberi kabar baik khusunya dari seseorang yang dia sayang. Siapa juga yang mau terus-terusan menghadapi rasa sakit dan air mata?”, suaranya hadir setelah senyap yang cukup lama. “Terus terang aku memang bukan manusia baik, hanya saja aku mencoba menahan ego untuk tidak mengharapkan hal-hal yang terlalu tinggi buatku”, perkataanya terasa dingin tapi ia benar, manusia memang begitu. Malam itu terasa lambat, kami hanya duduk membatu tanpa banyak bercakap. Bintang tak malu-malu, angin pun tak ragu-ragu, entah apa yang mereka pikirkan tapi tetap hanya sepi yang hadir di antara kami.

Sudah berapa jam aku di sini? Entahlah aku tidak memikirkan apapun selain diriku sendiri, duniaku hancur di situ juga. Ketika ayah menampar ibu dan pergi begitu saja, juga ibu yang memaki kemudian membanting pintu hingga menangis tersedu. Semua terjadi begitu saja, membuat kepalaku berkedut. Apa-apaan ini, aku yang pulang larut setelah dipukul sana-sini, tak dibiarkan pergi sebelum mereka mengambil semua uang yang ku punya lalu disambut dengan ricuh di rumah. Sepuluh menit yang mengerikan itu membawa separuh diriku pergi. Tanpa berpikir apa-apa aku juga menutup pintu meninggalkan rumah. Lariii...lariii dan lariii hanya itu yang kupikirkan, sentah berapa banyak orang yang menyaksikan. Bumi memang benar-benar brengsek, bisa-bisanya langit begitu indah malam ini dan aku begitu hancur saat ini. Aku butuh hujan. Pikirku saat berlari kesetanan, tapi bumi memberi sebaliknya. Naas, karenanya  air mataku tak bisa bersembunyi. Kemudian entah bagaimana aku bisa duduk di sini dengannya, untuk waktu yang lama. Dia hanya diam dan beberapa kali saja bertanya. Aku memang tak punya malu, bagaimana bisa seorang lelaki begitu lemah seperti itu di depan seorang gadis. Tapi aku tidak peduli, rasa sakit mengalahkan malu yang ada.

“Kamu tidak pulang? Ayah, Ibu akan mencarimu”, tanyaku. “Pulang kok, tenang saja. Tadi aku lewat pintu belakang jadi aman hehe. Sudah kubilang kan, aku bukan anak baik.”, jawabnya sedikit berbisik. Aku hanya mengangguk tidak peduli. Sepi menyesap kembali di antara kami, lambat laun menjalankan waktu. Anak itu masih di sini, duduk tenang di sebelahku benar-benar tidak melakukan apa-apa. Tapi tetap aku tidak peduli, rasa sakit membutakansemuanya, aku tidak peduli karena aku terlalu sakit, itu yang ada di kepalaku. 

“Lihat, matahari muncul”, dia berteriak kegirangan. Kesadaranku kembali, lamat-lamat cahaya memenuhi mataku. Ternyata memang sudah pagi, rasa sakit itu perlahan pergi dan tidak seburuk malam tadi. “Kamu masih di sini?”, tak kusangka dia benar-benar tidak pulang semalam, aku merasa bersalah. Ini pertama kalinya ada orang bodoh yang mau menemani orang gila sepertiku. “Iyaa.. aku di sini, kamu sudah baikan?”, tanyanya tersenyum. “Tentu. Terima kasih”. “Baiklah aku pergi ya. Hati-hati di jalan”, dia berjalan menjauh sambil melambaikan tangan. Semakin jauh, dia menghilang dari mataku.

Dia, rana. Teman sekolahku. Aku tidak tau apa-apa tentangnya, hanya saja dia pernah membeku di atap gedung sekolah. Aku menemukannya saat hendak merokok di sana, dia terlihat pilu dan menatap ke bawah. Entah apa yang ada di kepalaku, aku menariknya saat kukira ia akan menjatuhkan diri. Ku maki ia dengan nada tinggi setelah itu. Dasar bodoh kau pikir kamu siapa mau mati segampang itu, pecundang brengsek, sadar kau. Dia semakin membatu, diusap air matanya dan menatapku hangat. “Terima kasih tidak membiarkanku mati”, katanya tenang. Aku yang kebingungan atas jawabannya saat itu hanya diam dan membiarkannya berlalu begitu saja. Hanya saat itu dan hari ini saja aku bertemu dengannya, tapi dia telah begitu berbeda. Tapi syukurlah Tuhan membersamainya saat itu, syukurlah Tuhan juga membersamaiku lewat dia. Terima kasih tidak membiarkanku mati, Na.   


April, 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Desember

EPISODE #1

KEEP TRYING