Wajah Samudera
Dalam usia
musim penghujan yang makin panjang, kurasa rindu akan makin terpendam. Entah
ketika terik di kepala maupun malam yang mendenyutkan ubun-ubun di sana. Jarak
menambah samar jalanku untuk menelusur arah pergimu. Kau sudah begitu jauh,
bayangmu telah lebur menjelma sunyi. Bahkan detakmu hilang menyisakan misteri.
Tuan, mungkinkah aku telah salah jalan?
Terhuyung
tubuh ini ketika sedang mencoba untuk berdiri lebih kokoh lagi. Sangsi semakin
menyesaki hati, merapuhkan harapan untuk berlari mengejarmu di balik sepi.
Di langkah
pengembaraanku, tak bersisa lagi rindu di dada. Kini semua berbekas air mata,
merapal namamu pada titik terlemahku tanpa kata kata hanya dengan sederu
embusan napas hasil isak yang masih mengantung disana.
Jejak itu membawaku
ke bibir samudera teluk utara. Dalam diam kabut menyembunyikan namamu di
pangkuan malam. Pasir berdesir, ombak merutuki karang, angin sepoi membelai
basah rindu yang perlahan jadi sayu. Nyanyian
malam tertambat pada ombak yang menghempas tepian. Membuncahkan kembali kenang
ketika kau hadir pada pulauku yang temaram, parasmu meluluhkan gelombang dan
memberiku sejuta kebinggungan tentang hari esok yang sebentar lagi datang.
Tuan, akankah di sini pula aku berakhir sendirian? Melepasmu yang tetiba
menghilang. Merelakan kisah yang bahkan belum sempat merekah. Aku pasrah jika
memang harus kembali patah. Karena untuk mencintai, adalah sebuah pilihan pula
untuk jatuh dan tersakiti. Sampai
langit mengantikan bulan dengan mentari. Jemariku tak akan berhenti menghitung
untuk kesekian kali. Melebur detik demi detik menantikanmu menyapa diri.
Debar
begelanyut di setiap napasku. Beriring segala kemungkinan yang akan terjadi
kepada kita, yang bahkan belum pernah ada sebelumnya. Ombak
menerjangku, menghanyutkan seluruh denyut cinta ini padamu. Akan tetapi,
karenanya kini aku mengerti. Kesiaan hidupmu adalah aku, tangis harumu sebab
perangaiku, senyum terbias dari bibirmu, sebab inginku yang selalu membuatmu
pilu.
Mungkin
inilah saatnya aku rebah Tuan. Memberikan seluruh pengharapan pada samudera,
supaya kekal dan kelak akan menemuimu di ujung sana. Semoga saja kau
menerimanya, dengan utuh seluruh rasa yang telah lama ku simpan sendirian dalam
dada.
Tuan, aku
masih bertahan. Meski terombang ambing ke tengah atau bahkan tenggelam. Suatu
hari, jika kau ingin kembali. Dan menetap di sini, bangunkan aku yang terbaring
membeku bersama rindu. Sentuh aku dengan ketulusan itu. Genggam dan rekatkan
jemari kita, langkahkan aku pada pijakan semestinya. Dengan begitu aku akan selamat dari sesat
yang kini masih saja melekat.
![]() |
Dibawah sajak-sajak hujan, ombak bergumul di samudera melukis wajahmu dan semesta melangkahkan kaki itu menuju diriku |
Suku kata terakhir tercetak dengan tinta hitam di lembaran putih kehidupan. Ketika itulah aku menjadi berarti, sebab sangsi telah berganti pasti. Namamu hadir di jalanku yang remang, setiap jarak, koma dan titiknya kamu mengisi barang sehelai napas di sana.
Rupamu telah
menggantikan paras ribuan bunga, membuat mata ini tak bisa jauh darinya. Hari-hari
bersamamu terasa seperti malam minggu, penuh kehangatan tiada akhir gempita ruah
di jalan-jalan ikut berseru. Sungguh terpujilah waktu yang kumiliki saat itu.
Tetapi sekiranya
benar, aku terlalu terburu-buru terhadap semua langkah itu. Salah satunya
adalah mengharapkanmu. Lambat laun kegelisahan membuncah seisi ruang kepalaku,
beriring dengan bayangan senyum dan lesunya wajahmu. Pekatnya malam itu menjadi
saksi leburnya tawa ranum dari bibirmu, harus kurelakan dia berubah sendu kala
gerimis menjamah pipimu.
Kini biarkan
aku menghabiskan sisa kopi paling manis hari itu, sembari menghitung mobil yang
melintas ada nama yang selalu terucap. Segera pulanglah kamu, aku rindu.
Salam – 2019
Komentar
Posting Komentar