Temui Aku di Ujung Kalimat

-Apabila sepasang mata dapat saling menatap, maka setangkai surat akan saling meratap-




Sebentar lagi malam kehilangan diri, tak maukah engkau kembali?
Sebentar lagi bintang-bintang lesap, tak maukah engkau berhenti untuk membuatku berharap?

Untukmu, seorang yang masih berdiri di balik Januari. Barangkali ini saatnya aku untuk berhenti. Berhenti mengejar rimbunnya senja yang selalu saja membuatku menembus batas sejatinya manusia. Berhenti menjadi segenap ia dan mulai menerima ganjilku dengan bahagia. Pun berhenti untuk kemudian melepasmu yang tidak semestinya kugenggam sekeras itu. Setiap tahun telah kuhadiahi diriku sendiri dengan menyesap rindu berulang kali, menantikanmu di antara kegentingan doa yang mulai redup sesekali. Merabamu lewat kata-kata yang mulai berbau lapuk di atas meja, dan mungkin kini hampir hampir tak lagi dapat terbaca. Mencium keningmu lewat usia yang perlahan lepas dari tubuhku yang mulai runtuh dan menua.

Untukmu, seorang yang masih berdiri di balik Januari. Waktu telah merupa rubah yang terlentang kaku meregang nyawa akibat terhunus panah di dada. Waktu bagai dupa yang membakar dedaunan kering di sekitarnya. Di mana mana aku dihadapkan pada waktu yang mulai basah, pada kulit-kulit pohon yang terkelupas, hingga jejak jejak kaki yang tak menyisakan bekas. Pun ditambah getirnya menunggumu yang tak jua lekas.

September sudah renggang, tapi masihkah kau yakin bahwa Oktober akan mengenggamku dengan kencang?. Barangkali engkau akan datang bersama pasang malam nanti. Atau justru september yang panjang akan kutelan lagi masam masam sembari menanti bulan lain berdatangan.

Nun jauh tak lagi kulihat bayangmu menembus angin, maka biarlah kuakhiri ini lebih cepat dari ingin.

Tuan, sepasang matamu akan selalu jadi arah pulangku.
Temui aku di ujung kalimat, tempat di mana kita pernah menatap dengan begitu dekat.

September sudah pergi, tapi aku masih saja seperti ini. Di makan kegelisahan setiap malam, menangis terisak dalam remang, dan berakhir dengan luka di pergelangan tangan. Begitu saja dan berulang kali, jadi tempat pulang yang tak kenal aral. Memberi sehelai napas panjang kenyamanan, mengubur nyeri di urat urat nadi dan mengembalikan aku yang semakin sulit dinasihati.

Pada malam yang semakin tinggi, aku ingin menangisi seluruh hari yang telah kuhabiskan tanpa menemukan diriku lagi. Ketika seluruh cerita hanya menjelma kelam tanpa berujung kata kata, terpaksa harus kuteruskan sendiri petualangan ini meski tak akan pernah berakhir dengan suka. Pada waktu yang menjamah pelataran malam, sisi ini terus saja dibuai kekosongan. Tampak cahaya lenyap ditelan pemikiran-pemikiran buruk, hingga membuat bayanganku mulai lapuk.

Meski malam sudah setinggi ini, belum dapat kujumpai ia di sini. Dia, adalah denyut yang begitu kurindu sejak berbulan lalu. Dia adalah selesai yang bahkan belum sempat kumulai, juga dia yang sekarang masih tanya saat aku membutuhkan jawaban untuk segera.

Telah kutarik ragaku dari lingkarannya, kubuat sendiri kubangan kecil untuk tempat air mata miliknya. Kurentangkan lenganku untuk memeluknya. Tapi, sampai pada detak sehalus ini tak juga kulihat dia di sini.


Mungkin, sesuatu bernama ‘aku’ itu memang tidak pernah di sini. Atau dia sudah lelah hingga akhirnya pergi sebab diriku yang terlalu sibuk mengurus permasalahan bumi, hingga dimensiku sendiri terbakar dan seluruh pribumi di sana menghilang. - Kisah Negeri Tiga Dimensi





Salam
-2019-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Desember

EPISODE #1

KEEP TRYING