Mencoret Senyuman dengan Pena
Senyummu masih lekat dalam ingatan, meskipun kini samar dan tersisa bayang-bayang. Tapi itu tetap senyummu, milikmu yang tidak satupun darinya menggantikan itu. Masih lekat dalam ingatan, senyum itulah yang datang ketika senja muram. Benar, senyummu yang memerah dan menghangatkan ketika hujan datang. Maaf, itu masih saja kuingat meski waktu kita hanya sejenak. Kita? Mungkin kata itu hanya khayalanku semata, yang mestinya memang tak pernah ada. Tapi tetap saja itulah yang menjadi kenang paling membahagiakan dari seluruh jumpaku denganmu
.
Hujan telah membasuh pena dengan mengerikan, rintik-rintik pilu itu membuatnya terbangun dari peraduan. Dinginya membuat tinta di sana menegang, berseru penuh rintihan kesakitan. Lantas selembar kertas di meja jadi tumbal keganasannya, tinta pena itu terurai di sana. Berdarah-darah luka yang terbungkus kenang dalam hati, menuntun kata demi kata untuk menuntaskannya. Ketika hujan makin lekat dan malam makin deras meresap, lebur sudah kata itu dengan air mata. Kenang penuh luka tak mampu bertahan lebih lama dalam dada, dan akhirnya pecah pada kata-kata dalam lembaran kertas di atas meja.
![]() |
- Untukmu kurelakan pena ini berdarah, membasuh air mata yang memang tak pantas untuk disisakan sakitnya.-
|
“Senyuman” seperti sebuah cahaya terang dalam jejak kita mencapai kesuksesan, akan tetapi nyatanya hanya tipuan. Telah banyak waktu, tenaga, biaya dan logika untuk mencapainya tapi dengan sekali jentikan semua menghilang tanpa sisa. Setelahnya kita terseok-seok mencari peganggan berdiri, bersusah payah bangkit dan melaju lagi. Namun, “senyuman” itu masih saja berputar-putar di kepala membuat trauma korbannya. “Senyuman” yang dimaksud adalah kegalalan. Manusia yang telah bertaruh banyak hal harus luluh dengan kegagalan. Kemudian selanjutnya, harus segera memilih untuk bangkit atau menyerah, karena hidup kita tak pernah mau menunggu lama. Sebab waktu akan terus berjalan, meskipun luka itu masih basah, hidup akan tetap keras.
Tidak semudah itu berkata-kata wahai engkau!, kegagalan telah menghancurkan jalan terang bahkan dengan semua persiapan menawan. Karenanya begitu menakutkan untuk menambatkan hati kembali pada tujuan. Tidak tahukah engkau telah berapa banyak pengorbanan ini yang sia-sia?
Sebuah kemarahan pada penulis yang akan terjadi saat diminta ayo bangkit dari kegagalan. Sebab sudah tahu akan dijawab begitu maka penulis akan menyarankan hal lain. “Wahai kalian yang telah mendapat senyuman (kegagalan), maka menyerahlah. Menyerahlah pada keputusasaan akan kegagalan. Putus asa itu akan semakin kuat apabila kalian mencoba bangkit. Maka lespaskan lebih dulu genggamannya, katakan “Aku menyerah untuk mengatakan aku baik-baik saja”, aku sedih, marah kecewa dan putus asa memang itu sebenar-benarnya. Tapi dengan ini berarti diriku semakin berharga, dan pantas untuk mendapatkan yang lebih daripada tujuanku sebelumnya. Karena itu akan kuselesaikan ini (bayang-bayang kegalalan) dengan beberapa tangisan, dan akan ku kunci mati kemenangan yang memang telah dipersiapkan untukku tanpa keraguan. Terima kasih tuhan hatiku memang patah, tapi semangatku tak pernah berubah.
Bintang dan Bulan jadi saksi, begitu sesaknya sajakku malam ini - Salam
Komentar
Posting Komentar