Detik Itu Bukan Detakku

Senja, bersama debaran angin yang menerbangkan mimpi, dengan pasrah ku relakan diri untuk pergi. Mengalah untuk hati yang telah membuatku jatuh hati. Seperti halnya keyakinanku, bahwa dibalik senja ada langit yang begitu kuat sedang menanggung luka. Inilah keputusanku, untuk menjadi langit atas senjamu yang merekah kala itu. Tenanglah, sesaknya akan kupeluk hingga nanti, malam menempatkan diri. Tersenyumlah pada orang-orang yang menantikanmu, biarkan luka ini ku sembunyikan dalam semu. Semuanya akan lebur bersama detik, dan tergantikan detak dipalung hatimu.

Saat itu yang terpikir dalam benakku adalah lukisan senja jingga, begitu menawan dan memanjakan mata. Karenanya, kuserahkan diri untuk jadi langit yang mengantar senja di kedamaian pelupuk mata. Benar saja, senja hari itu begitu jingga. Menyilaukan hati siapa saja yang menatap wajahnya, seakan kefanaan dunia ini hanya tertidur dalam mimpi semenjana.

Menatap keindahan begitu lama, telah membuat seseorang memalingkan muka dari pandangan sebelumnya. Dan itu yang kudapati darimu yang sudah bahagia. Terbakarnya senja memisahkan aku dan kamu yang dibingkai sepasang kaca, kemudian oleh semesta diberi retak pada ujungnya. Doa yang kuselipkan pada tetiap jejakmu di bumi, telah kalah oleh cinta sementara yang membuatmu lupa diri.

Sebagai seorang yang menyayangimu, merelakan kebahagiaan itu sudah jadi tugasku. Merelakan impian besar yang sudah terbuka lebar pada jalanku, seperti melerai jejal debu yang tak akan mau menanggung pilu, bila ia terlepas begitu. Aku bukan orang yang banyak berkata untuk mendapatkan cinta, lebih baik diam untuk dapat mencintai seutuhnya. Aku tak mau menuntut balas, hanya saja masih kucoba untuk ikhlas. Ruang itu kini milikmu, semoga dapat semakin menguatkan namamu dalam setiap pinta yang kulangitkan setelah senja. Hari itu saatnya aku jadi dewasa, untuk tidak larut dalam keegeoisan yang membara. Maka kuberikan kesempatan itu, dan berharap bahagiamu tak perlu menunggu lama untuk segera menjadi nyata.

"Setelah bahagia itu mendekapmu, nampaknya detik akan memudarkanku dari ruang waktu"


Tapi, apa yang kudapat?. seorang yang kuperjuangkan bahagianya justru meleburku dalam jam pasir tanpa sisa. Setiap detik alunan itu bukan detakku, ia hanyalah sesak yang menungguku kusam bersama waktu. Seperti sebelumnya, aku memang tak meminta balas atas apa-apa saja. Tetapi, sebagai seorang yang sudah mendekap cukup lama tidak bisakah kau juga menyertakanku dalam tiap kebahagiaan itu?. Aku hanya ingin senyummu sebagai muara atas seluruh aliran lesuku. Mengapa justru kini kau pergi bersama orang-oarang baru untuk melebur tawa, dan menghempasku sampai butir terakhir jatuh menyisakan luka?  

Mungkin bagimu aku hanya selaksa cahaya petang, datang dalam celah dan menghilang ketika sudah. Perasaaanku bagimu mungkin hanya sesaat dan tak melekat, makanya kau lepas tanpa syarat hingga membuatnya bersekat. Sungguh tak mengapa, sesalku pun tak memperbaiki ini semua. Harapanku masih sama, kamu bahagia meskipun aku di sini kau anggap tidak ada.


Katanya bahagia itu harus dikejar, impian mesti diperjuangkan. Namun, bagaimana bila keduanya bersanding dan tak dapat dipisahkan. Ketika dihadapkan pada pilihan, untuk membahagiakan diri atau memberikan bahagia pada lain hati. manakah yang akan kau pilih esok hari?

Keduanya seimbang, sama-sama pantas untuk dijadikan pilihan. Tapi, lagi-lagi waktu tak memberikan sekat untuk berunding lebih dulu. Yang diinginkan waktu adalah keputusan cepat, saat itu juga, entah nantinya akan tepat atau melesat dari tujuan mestinya.

Dan lagi-lagi kita harus mengerti, bahwa dalam setiap pilihan ada konsekuensi yang harus diikuti. Sebab sedih dan bahagia adalah mata uang yang saling berganti memasang muka pada tiap-tiap kehidupan manusia. Untuk yang satu itu, pasrah adalah satu-satunya jalan setelah semua usaha dimampukan dalam perjuangan.


2019 - terima kasih

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Desember

EPISODE #1

KEEP TRYING